12/08/2010

Andai aku orang Yogja... Sebuah catatan Istimewa...




DIY... sebuah kata yang melekat pada Yogja, daerah yang menjadi salah satu istimewa di Indonesia, mengapa..?, karena sejarah singkat bertutur bahwa, ketika kerajaan Ngayogjakarta Hadiningrat secara sadar dan rendah hati serta suka rela menjadi bagian dari daerah NKRI pada jamanya, adalah Sultan HB IX beserta Paku Alam sebagai penguasa daerah mendeklarasikan Keraton Yogjakarta menjadi bagian Indonesia dan bukan negara tersendiri.

Sekarang..ketika geliat otonomi yang telah bedengung dan berjalan sekian lama pada giliranya mulai mengerogoti keistimewaan Yogja, ada gemericik penolakan terhadap keistimewaan dan tetap mendukung pada keistimewaan. Hal ini menjadi sebuah catatan tersendiri bagi diri saya sendiri terhadap RUUK DIY yang akan diajukan ke DPR RI beberapa saat lagi.

Akhir tahun 1999, mula kaki menginjak di tanah jogja, hingga 2004 dan bersambung lagi 2007-2010, hanya sekedar menapaki dan mendaki ilmu di tanah istimewa tersebut. Selama beberapa tahun hidup di Yogja, bagi saya yang bukan orang Yogja, sangat “kerasan” atmosfer tanah rantau itu, hagemoni Yogja yang yang merupakan Indonesia mini, kawan-kawan dari tanah rencong hingga bumi papua bersama-sama dalam menuntut ilmu. Sedikit banyak hal ini telah menularkan makna Istimewa dari Yogja di dalam benak berfikir.

Terlepas dari sisi politis atau apapun, Yogjakarta, memiliki raja yang sekaligus menjadi Gubernurnya, seorang manusia yang sangat dihormati oleh rakyatnya, bahkan kami para pelajar yang bermukim sementara di Yogja. Sebuah daerah yang kondusif, murah meriah makananya, gudang buku murah shoping.

Pemerintah pusat sebaiknya tidak usah mencampuri makna keistimewaan itu, Yogja yang sudah tenang dengan daerahnya walau merapi sering batuk, Yogja yang selalu menerima orang-orang muda untuk belajar. Sekarang, terusik karena ada ide untuk mem’pilkada’kan Gubernurnya. Bagi saya, ide itu sangat melukai masyarakat atau bahkan rakyat Ngayogyakarto.

Sebaiknya, mereka yang di jakarta lebih mengurusi urusan rumah tangga negara yang masih belum beres, korupsi merajalela, kebijakan yang kurang mengakomodir rakyat atau bahkan urusan kang Gayus yang jadi selebritis ketimbang DIY yang sudah damai. Walau dengan ide demokrasi, tetapi jangan di paksakan ketika sebagian besar (menurutku..) rakyat Yogja masih mendukung feodalisme. Bagi mereka, raja adalah pemimpin, Gubernur adalah pemimpin, andai kemudian gubernur bukan raja.. maka akan ada matahari kembar di Yogja.

Sebagai contoh sederhana, banyak kasus pemilihan gubernur yang berakhir di meja hijau, konflik horisontal, sampai pada pemborosan pengeluaran daerah yang pada ujungnya akan berakhir pada masyarakat. Raja adalah tempat mengadu dan berkeluh kesah, ketika ada bupati yang ‘nyeleneh’ kebijakanya. Ketika sultan bukan seorang gubernur lagi, kemungkinan besar keluh kesah itu tak optimal lagi...

Mengutip pernyataan beberapa partai besar di kompas 8/12/10, seperti PDIP (Harto Kristiyanto), Golkar (Priyo Budisantoso), PPP (Romahormuzy), mereka masih mendukung penetapan Sultan HB dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Bahkan wakil ketua DPR RI Anis Matta (PKS) mengatakan “penetapan gubernur dari keluarga keraton merupakan janji pemerintah pusat saat Yogjakarta bersedia begabung dengan NKRI, sekarang rakyat Yogjakarta menilai pusat sedang melanggar janji itu” Kompas 8/12/10. Kirannya pemerintah melihat permasalahan ini jangan hanya lewat jejak pendapat dari depdagri, tapi dengarlah langsung dari masyarakat Yogjakarta, karena mereka yang hidup dan tinggal di Yogjakarta.

Akhir kata, saya mendukung Keistimewaan Jogja yang telah ada, bagi anda yang membaca catatan saya ini.....
.. semua keputusan terserah anda......


P/S :
1. Poto saya ambil pada saat Pisowana Agung 28/10/09, tapi itu bukan saya loh..
2. Saduran data dari Kompas 8/12/10.