2/15/2010

Sewers ala Indonesia

Hari ini (Minggu, 14 Februari 2010), di kosku, yang punya kos memperbaiki kondisi fisik, dari atap, eternit, hingga sistem pengairan (kamar mandi, wc dll). Sebenarnya dah lama protes tentang keadaan kos, namun setelah setahun bermukim disini, baru mendapatkan ‘hibah’ perbaikannya (syukur banget, soalnya bocor dan bau yang bikin ngak tahan). Menurutku kondisi kos masih 50 % bagus, namun berhubung harga kos naik menjadi Rp.550rb/3bln (lumayan mahal menurut kantongku!!!), akhirnya anak kos sepakat mengadakan ‘demo’ nunggak bayar (padahal sudah rutin telat bayar, termasuk aku, hehe).

Nah, disini ada yang menjadi sebuah kecurigaanku sekaligus permasalahan yang ingin aku angkat dalam uneg-uneg ini. Saat para pekerja membuka kondisi kolam penampungan air limbah kos, ini yang menjadi intens dari curiosityku, karena ada perbedaan yang mendasar dari ‘pengelolaan’ limbah ini. Karena yang ketemui terdahulu (dikampung halamanku) umumnya air limbah rumah tangga langsung dialirkan ke selokan/sungai terdekat, sehingga sangat jelas terlihat ‘kengerian’ air limbah itu sendiri. Sedangkan di sini (Yogjakarta) ternyata air limbah di tampung di suatu kolam yang berada masih dalam lingkungan rumah, jadi tidak terlihat bahwa ada air limbah rumah tangga. Hal ini menjawab keingintahuanku selama ini, karena selama sepuluh tahun berada di Yogja aku heran kenapa jarang ada air limbah yang dialirkan ke selokan/sungai terdekat, ternyata di tampung dalam sebuah kolam.

Dari pengetahuanku selama ini (karena aku bukan anak teknik lingkungan), teknologi pengelolaan air limbah yang ada di Yogja sudah sangat bagus, dibanding beberapa kota di Indonesia, karena mereka (masyarakat) disini sudah mengolahnya sebelum di ‘serahkan’ ke lingkungan (alam). Teknologi ini meskipun tergolong sangat sederhana (menurutku, soalnya tahun 2010 gitu loh), namun cukup efektif dan ramah terhadap lingkungan. Di sebagian kota di Indonesia, terutama di kampung-kampung (padahal di jakarta juga terlihat) yang kondisi lingkunganya masih luas dan hijau, umumnya air limbah rumah tangga langsung dialirkan ke selokan/sungai terdekat, sehingga limbah yang diterima oleh lingkungan murni limbah yang ‘toxic’, dan daya dukung lingkungan kemudian mentralkanya.

Teknologi pengelolaan limbah yang ditampung dalam kolam ini, sebenarnya sudah sejak lama di kenal pada zaman dahulu (zaman romawi kuno), dikenal dengan nama sewers (kalau tidak salah) yaitu limbah dari seluruh kota di tampung dan kemudian baru di alirkan ke sungai/laut. Namun ada perbedaan yang mendasar, yaitu (di Yogjakarta) limbah yang dikelola masih terbatas pada indiviudal (secara sendiri-sendiri pada masing-masing rumah), sedangkan sewers sudah terkoneksi pada sebuah kota dan baru dialirkan ke sungai/laut. Pernah seorang temanku (Indra Gunawan) yang kuliah di UMS Solo mengatakan, bahwa ada ide fenomenal (tahun 2002) dari pemda Solo untuk membuat ‘interkoneksi’ septic-tank dari setiap rumah penduduk pada sebuah wadah di area yang berdekatan (sistem zonasi). Dalam ceritanya, dia menolak hal ini, karena akan menimbulkan permasalah kompleks pada sambungan-sambungan pipa septic-tank tersebut apabila bocor, untuk hal ini aku sepakat, karena pipa yang digunakan hanyalah pipa pvc (menurut cerita dia), namun untuk ide interkoneksi tersebut, aku memberikan salut karena apabila hal tersebut terwujud, maka akan sedikit mengurangi degradasi lingkungan.

Nah kembali ke sewers yang ada di kosku, aku ada beberapa hal yang tidak sepakat, karena menurut para pekerja, umumnya kolam berbentuk persegi empat yang disemen, namun pada bagian bawah tidak disemen hanya di beri ‘ijuk’ (serabut hitam dari pohon aren/Arenga pinnata Merr) untuk media seleksi peresapan air limbah sebelum ke tanah. Ini sangat tidak bagus untuk menseleksi toxicnya, karena ijuk menurutku kurang selektif. Ada beberapa alasan kenapa hal itu aku permasalahkan, pertama, letak kolam limbah dengan sumur hanya berjarak 1,5 m, dan jarak sumur terhadap septic-tank hanya 3 m, sehingga air yang ada dalam sumur sangat terpengaruh oleh limbah toxic dari kedua limbah tersebut (asumsi ini hanya sebatas perkiraan tanpa disertai data yang mendetail). Di sini aku menganjurkan terhadap kolam limbah untuk ditambah media seleksinya sehingga toxic yang diterima oleh tanah akan sangat berkurang dan daya dukung tanah akan lebih sempurna dalam mengolahnya kembali menjadi air tanah. Adapun media yang ditambahkan selain ijuk adalah batu kerikil (kalau bisa batu yang kompisisnya dominan kuarsa), pasir kuarsa dan pada bagian bawah adalah bata merah tanpa semen (bata berfungsi untuk menahan pasir kuarsa utuk tidak menyebar), namun untuk bata merah harus berasal dari tanah liat (lempung) baik. Berikut gambar penampang vertikal terhadap usulan kolam penampungan (sebenarnya ini adalah modifikasi dari bentuk dispenser permurnian air yang ada di rumahku dan penyaring air batupasir yang diwariskan dari kakek kepada ayahku namun tidak digunakan, karena kami sekarang menggunakan ledeng atau air pdam)



Sketsa kolam penampungan air limbah rumah tangga yang ditampung secara individual.

Kemungkinan besar yang kutulis ini sudah banyak dibahas oleh peneliti/ahli lingkungan, namun disini aku hanya mengeluarkan sebuah saran terhadap modifikasi yang sederhana dan murah untuk masyarakat. Degradasi lingkungan yang terjadi di perkotaan sering kali luput dari pandangan masyarakat dan umumnya lebih intens terhadap kerusakan lingkungan akibat pertambangan atau perusahaan-perusaan, namun menurutku adalah bahaya latent bila pengelolaan di perkotaan tidak dikelola secara tepat. Dan air..air adalah sumber kehidupan.

P/S :
1. Informasi sewers.
a

0 comments: